Senin, 19 Maret 2012

SEPENGGAL KISAH VETERAN PERTEMPURAN LAUT ARU


Empat relief menghiasi dinding sisi dalam Kapal Perang Harimau 607 yang sudah dimonumenkan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.

Terekam peristiwa bersejarah pertempuran di Laut Aru di sana. Relief membawa Laksamana TNI (Purn) Sudomo membuka kembali rekaman dalam benaknya akan kengerian peristiwa yang merenggut KomodorYos Soedarso itu. “Ada tiga kapal dalam pertempuran Laut Aru,kapal ini salah satunya,”kenangnya. Sudomo mengunjungi monumen itu bersama puluhan pelaku sejarah perang Laut Aru dalam acara silaturahmi dengan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Soeparno dan jajarannya,Jumat (16/3).Sejumlah mantan KSAL juga hadir di sana.

Sudomo hanyalah salah satu dari sekian banyak prajurit TNI Angkatan Laut yang terlibat dalam perang itu.Saat itu dia tergabung dalam KRI Harimau- 607.Dua kapal lainnya adalah KRI Matjan Tutul-602 dan KRI Matjan Kumbang- 603. Perang di Laut Aru melawan Belanda menjadi pengalaman pertama bagi banyak prajurit.Termasuk AJ Widiyanto yang ketika itu baru tiga bulan lulus dari Akademi Angkatan Laut (AAL). Ketika diberangkatkan da ri Tanjung Priok Jakarta pukul 18.00 WIB,9 Januari 1962,Widiyanto tidak tahu banyak tujuan pemberangkatan tiga kapal itu.

Kecuali sebatas untuk pertempuran di suatu tempat yang masih gelap baginya. Selama perjalanan,ketiga kapal dalam formasi berurutan dengan KRI Harimau paling depan,disusul Tutul dan Kumbang.Kapal sempat berhenti di tiga tempat,Madura, utara Flores untuk mengisi bahan bakar,dan satu tempat lagi yang Widiyanto sudah lupa namanya. Di perjalanan ini dia baru mengetahui bahwa kapal menuju Laut Aru dengan misi sekadar untuk pendaratan pasukan.

Karenanya,kapal hanya dilengkapi dua meriam, sedangkan torpedo tidak dipasang. Parade kapal ini akan mendaratkan pasukan sejumlah satu kompi,sekitar 120 orang. “Kita sudah disuruh bikin surat wasiat untuk tidak kembali. Surat dititipkan ke KRI Multatuli yang ketemu di perjalanan,” katanya. Surat wasiat itu dibuat mengingat misi yang diemban ini,walau sekadar untuk pendaratan pasukan,memiliki konsekuensi besar.“Jika setelah pendaratan kapal gagal kembali karena dihadang,misalnya, kapal harus diledakkan dan kita prajurit ikut bergerilya,” tutur pria kelahiran Kediri itu.

Dalam perjalanan tersebut, Widiyanto berada di atas kapal.Namun saat pertempuran mulai terjadi,dia turun masuk ke dalam kamar mesin. “Kres terjadi pukul 21.00.Seluruh prajurit diperintahkan ke pos masing-masing,”cerita Widi yang ketika itu bertugas di Divisi Kamar Mesin. Tugas di kamar mesin membuat Widiyanto yang kala itu berpangkat letda tidak mengetahui apa yang terjadi di luar.Satu hal yang dia tahu adalah perintah menambah kecepatan kapal hingga angka maksimal 40 knot/jam.“Kemungkinan untuk menghindari jarak tembak,”pikirnya saat itu.

Dengan kecepatan penuh, dia yakin kapal akan keluar dari zona bahaya.Sebab,kecepatan kapal-kapal Belanda hanya sekitar 26 knot/jam. Kecepatan maksimal dipacu hingga satu jam, padahal harusnya maksimal hanya 15 menit.“Ketika kontrol temperaturnya 450 derajat Celsius,harusnya diturunkan,tetapi tidak boleh.Setelah satu jam, temperatur 700 derajat.Saya bilang kalau tidak diturunkan, kapal bisa meledak,barulah diizinkan diturunkan kecepatannya,”beber Widi. Kapal akhirnya bisa lolos, kecuali KRI Matjan Tutul yang tenggelam.

“Kapal (Harimau) sempat goyang.Setelah tiba di Surabaya dicek ternyata propeler sobek,”kata purnawirawan dengan pangkat terakhir kolonel itu. Tenggelamnya KRI Matjan Tutul membawa duka bagi Yuliani Wiratno.Perempuan itu harus kehilangan ayah tercinta,Kapten Laut Wiratno, sang komandan kapal yang gugur. Saat peristiwa terjadi,Yuliani baru berusia enam bulan.

“Ayah adalah sosok yang pemberani, menjalankan amanah dengan baik,dan beliau memegang janji hingga gugur dengan usus terburai,”katanya lirih. Kapten Wiratno meninggalkan dua anak,Yuliani dan kakaknya.“Saat berangkat, ibu dipesan untuk menjaga anak-anak,”kenangnya.

Di atas monumen itu,Yuliani sempat berfoto dengan latar belakang foto ayahnya. Yang memotret adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Marsetio memakai ponsel Yuliani. “Ibu ini siapanya (Kapten Wiratno)?”tanya Marsetio sebelum memotret,yang dijawab,“ Saya putrinya.”

Sindo

1 komentar:

  1. Semoga perjuangan di laut Aru, menjadi inspirasi generasi muda dalam mengisi kemerdekaan.

    BalasHapus

Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar