Jumat, 22 Juli 2011

RI Dorong Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

NUSA DUA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua ASEAN meminta penyelesaian konflik di kawasan Laut China Selatan dapat segera mencapai kemajuan sehingga masa depan kawasan yang disengketakan itu bisa segera cerah.

Harapan ini disampaikan Presiden saat membuka pertemuan menteri luar negeri ASEAN di Nusa Dua, Bali, kemarin. ”Saya meminta Pertemuan Menlu ASEAN untuk berusaha maju, menyelesaikan perjalanan terakhir pada dokumen penting ini. Kita butuh untuk mengirimkan sinyal kuat kepada dunia bahwa masa depan Laut China Selatan dapat diprediksikan dan dapat diatasi,”ujarnya.

Menurut SBY,penyelesaian sengketa itu seharusnya tidak bergerak selambat ini, mengingat ASEAN sudah menyepakati deklarasi bersama tentang Laut China Selatan pada 1992 dan 10 tahun berikutnya disusul persetujuan China.

”Deklarasi Laut China Selatan pertama kali dikeluarkan pada 1992. Dibutuhkan waktu 10 tahun hingga ASEAN dan China menyetujui deklarasi itu. Sembilan tahun kemudian, kita masih belum menyelesaikan garis pedoman dari petunjuk kesepakatan mekanisme penanganan Laut China Selatan,”kata mantan menteri koordinator bidang politik dan keamanan ini.

Kepada menteri luar negeri ASEAN, SBY meminta forum di Bali yang berlangsung beberapa hari ke depan itu bisa mempercepat penanganan konflik dengan menyelesaikan tahapan terakhir dari dokumen kesepakatan yang sudah ada. Setelah itu ASEAN harus melangkah ke tahap identifikasi elemen dari pelaksanaan petunjuk penanganan kawasan Laut China Selatan.

”Kita perlu menuntaskan garis pedoman yang sudah melampaui batas waktu, karena kita ingin maju ke tahapan berikutnya, yaitu mengidentifikasi elemen-elemen kesepakatan tersebut. Semakin kita dapat menyelesaikan hal ini,semakin baik kita menyelesaikan situasi di Laut China Selatan. Saya yakin bahwa kita dapat segera memulai diskusi pada kesepakatan penanganan Laut China Selatan,”kata SBY.

SBY menegaskan, semakin cepat ASEAN membahas kesepakatan itu dengan China, kawasan Laut China Selatan akan semakin mudah dikelola dan ditangani. “Saya berkeyakinan ASEAN dan China bisa segera menyepakati penanganan kawasan Laut China Selatan,”ujarnya.

Belum jelas apakah forum ini juga akan memberi peluang bagi pihak bersengketa untuk berdialog langsung, terutama dengan Vietnam yang didukung Amerika Serikat dan China, yang wakilnya hadir dalam pertemuan ini. Amerika akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri Hillary Clinton yang dijadwalkan tiba di Bali,Rabu (20/7).

Pakar hukum internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita melihat Indonesia punya peran yang strategis untuk meredakan perebutan Pulau Spartly dan Paracel yang telah terjadi bertahun-tahun antara Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan China.

Posisi Indonesia sebagai ketua ASEAN dinilai strategis, apalagi Indonesia mempunyai hubungan perdagangan bernilai besar dengan China.“Sebagai ketua tentu ada kewajiban untuk mendorong perdamaian di kawasan. Indonesia juga punya hubungan baik dengan Vietnam dan China,”ujarnya.

Untuk mewujudkan penyelesaian konflik tersebut, Indonesia tentu juga harus memperkuat barisan lobi dan negosiasi kepada negara-negara yang terlibat perebutan tersebut. Sejauh ini hal tersebut sudah mulai dilakukan.Pemerintah Indonesia sering terlihat melakukan pendekatan dengan Brunei Darussalam dan memperkuat hubungan dengan Vietnam.

“Dari segala sendi Indonesia mempunyai kekuatan untuk mendamaikan kawasan Laut China Selatan,” ujarnya. Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menunjukkan keyakinan yang kuat bahwa ASEAN Regional Forum dapat memberi kontribusi bagi penyelesaian konflik Laut China Selatan,terutama guidelines dan declaration of conduct dalam penanganan konflik di wilayah tersebut.

Dalam pandangannya, declaration of conduct yang sudah ada antara ASEAN dan China relevan ditindaklanjuti. Dengan begitu,upaya penyelesaian konflik Laut China Selatan tidak harus dimulai dari awal, tapi sudah ada rencananya.

Konflik memperebutkan Pulau Spratly dan Paracel dan lain-lain itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan mengakibatkan ketegangan antara empat negara anggota ASEAN: Vietnam,Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan berhadapan dengan China.

Ketegangan semakin memuncak setelah muncul perang klaim antara Vietnam dan China,meski kemudian disepakati oleh dua pihak sengketa akan diatasi dengan perundingan. Namun di saat yang sama Vietnam kemudian meneruskan latihan perangnya dengan AS yang dianggap memperuncing konflik.

Pada pertengahan Juni kemarin China secara tegas menolak campur tangan kekuasaan asing dalam wilayah sengketa Laut China Selatan.Penolakan keluar setelah Vietnam meminta bantuan internasional untuk meredakan ketegangan di antara kedua negara yang dipicu oleh sengketa wilayah di Laut China Selatan.

Vietnam menuduh China menyabot kapal survei gempa mereka. Sebaliknya, China memperingatkan negara-negara tetangganya, termasuk Vietnam, agar tidak coba-coba mencari sumber daya alam di wilayah yang masih mereka sengketakan.

Menurut Vietnam, kapal survei mereka diganggu kapal penangkap ikan dan dua kapal patroli China pada hari yang sama. Kapal-kapal China itu dituduh telah memotong kabel yang dipasang oleh tim survei gempa bumi dari kapal yang dioperasikan perusahaan minyak milik Pemerintah Vietnam, PetroVietnam.

Forum Menteri Luar Negeri ASEAN dilangsungkan mulai hari ini di Bali dan Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi sejumlah negara mitra ASEAN, termasuk China dan AS.Di luar persoalan Laut China Selatan, para menteri luar negeri ASEAN juga masih akan mendengar kelanjutan upaya resolusi konflik perbatasan Thailand- Kamboja, serta reformasi politik yang berjalan lambat di Myanmar.

Setelah 44 tahun berdiri ASEANkiniberanggotakan 10 negara dan mempunya tiga negara mitra utama di kawasan, Korea Selatan,Jepang,dan China, yang kerap disebut sebagai paket ASEAN+3.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar