Rabu, 03 November 2010

Ekonomi Berbasis Benua Maritim

Salah satu tonggak perbedaan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang dicanangkan pemerintah saat ini adalah pergeseran paradigma dari ekonomi berbasis daratan (kontinen) menjadi berbasis benua maritim. Pemilihan kata-kata “benua maritim” juga cukup cerdas, karena di sana terkandung semangat baru, melihat lautan atau dunia maritim sebagai penghubung, bukan sebagai pemisah, gugusan kepulauan yang tersebar di seantero Nusantara. Perubahan paradigma yang dimaksudkan tentu masih akan memerlukan waktu yang panjang, bahkan melampaui satu generasi.

Perubahan ini masih memerlukan contoh atau tauladan dari para pemimipin dan politisi untuk mengubah pola pikir atau mind-set yang sangat signifikan, agar masyarkat juga mampu bertransformasi menuju akar budaya maritim dan ekonomi maritim yang sebenarnya merupakan akar budaya masyarakat Indonesia sejak ribuan tahun silam. Budaya maritim umumnya lebih lugas, terbuka, adaptif terhadap perubahan, demokratis, tidak memaksakan kehendak, saling menghargai antar-warga negara dan sebagainya. Kelak tidak akan terdengar lagi komentar kontroversial seorang pejabat tinggi negara yang menganjurkan para korban tsunami agar tidak tinggal di pulau-pulau kecil jika tidak ingin terganggu bencana alam. Komentar itu memang sangat menyakitkan dan akhhirnya dan menimbulkan kontroversi politik hanya karena ketidaktahuannya (ignorance) terhadap akar budaya atau basis ekonomi Indonesia.

Sektor yang sangat dekat atau bahkan menjadi salah inti dari pembangunan ekonomi berbasis benua maritim adalah sektor perikanan. Hampir semua sepakat bahwa perikanan Indonesia merupakan “raksasa yang akan segera bangun”. Sejak krisis ekonomi Asia 1998, sektor perikanan adalah satu-satu sektor dalam lingkup pertanian yang mencapai laju pertumbuhan tertinggi, stabil di atas lima persen per tahun. Sektor perikanan pernah bermasalah pada awal-awal era otonomi daerah karena koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih belum menemukan bentuk terbaiknya dan terdapat gangguan diplomasi ekonomi pada tingkat perdagangan internasional.

Udang Indonesia pernah dipersulit menembus pasar Amerika Serikat (AS) karena ditengarai alat tangkap di Indonesia tidak ramah lingkungan, sehingga ikut pula menjaring penyu hijau yang merupakan satwa yang dilindungi. Demikian pula, pasar Uni Eropa (UE) pernah mempermasalahkan ekspor udang Indonesia yang ditengarai menimbulkan histamin (penyebab alergi) karena sarana pendingin yang kurang memadai, sehingga terjadai penguraian asam amino histamin. Asam amino histamine ini walaupun tidak terlalu berbahaya, tapi sempat cukup menakutkan pasar Uni Eropa. Alhasil, kinerja pertumbuhan pada waktu itu tercatat hanya sekitar empat persen, sebagai salah satu dampak dari kontroversi manajemen perikanan budidaya udang skala besar di Lampung yang melibatkan konglomerat skala besar dan bermasalah.

Namun demikian, ketika sektor lain heboh dan khawatir terhadap dampak krisis ekonomi global tahun 2008, kinerja sektor perikanan juga tetap stabil di atas lima persen per tahun. Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian dalam arti luas masih stabil pada kisaran 20 persen per tahun, yang sekaligus menunjukkan betapa strategisnya sektor perikanan ini dalam pereknomian Indonesia. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2009 mencapai 5,2 juta ton, atau hampir setara dengan produksi perikanan tahun 2008. Capaian total produksi masih sekitar 10 juta ton, karena produksi perikanan budidaya masih sedikit di bawah 5 juta ton, karena permasalahan teknis budidaya, sosial-ekonomis dan lingkungan hidup di sektor ini tidak dapat dipecahkan secara baik dalam waktu singkat.

Sebenarnya, pontensi perikanan budidaya juga tidak kalah dahsyatnya dibanding perikanan tangkap, karena luas lahan potensial untuk budidaya ikan masih tercatat 12 juta hektare atau lebih, dan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009) menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini terdapat potensi lahan untuk budidaya perikanan, terdiri dari: 8,3 juta hektare untuk budidaya laut; 1,3 juta hektare untuk budidaya air, dan 2,2 juta hektare untuk budidaya air tawar. Budidaya air payau masih sedikit sekali yang telah dikembangkan, tercatat tidak sampai 500 ribu hektare. Indonesia yang terletak di perairan tropis ini memiliki banyak sekali spesies ikan, terbukti dari 45 persen dari seluruh spesies ikan dunia ternyata ada di Indonesia. Letak geografis yang nyaris sempurna tersebut seharusnya menjadi andalah produksi perikanan Indonesia yang sagat besar. Di Indonesia, boleh dikatakan tidak ada badai yang sangat dahsyat dan angin topan yang besar yang sering ditemukan di negara-negara tropis lain. Indonesia memiliki topografi lahan dengan elevasi beragam, bentang lahan yang kaya dengan air permukaan, perairan pantai terlindung dan gugusan pulau-pulau kecil yang subur, dan lain-lain adalah anugerah yang tiada tara untuk membangun ekonomi berbasis benua maritim.

Target Produksi Ambisius

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad secara terbuka pernah menyampaikan target-target produksi perikanan yang sangat ambisius. Pada tahun 2014 atau pada akhir masa administrasi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, total produksi perikanan dicanangkan mencapai 22,4 juta ton, suatu angka target hampir 2,5 kali lipat, yang nampaknya belum pernah dilakukan oleh menteri sebelumnya. Basis peningkatan produksi itu lebih banyak berasal dari perikanan budidaya (70 persen), mengingat potensi lahan seperti diuraikan sebelumnya. Banyak analis meragukan pencapaian target ambisius itu mengingat kualitas birokrasi di pusat dan di daerah yang belum banyak berubah. Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat masih agak samar-samar terdengar di daerah. Upaya menggenjot produksi perikanan budidaya seperti udang, bandeng, rumput laut, patin, mujair, ikan mas dan sebagainya masih terkendala oleh kecukupan dan kualitas pakan, teknik budidaya, dukungan permodalan dan pembiayaan. Baik pada perikanan budidaya, maupun perikanan tangkap, kompleksitas aransemen kelembagaan masih cukup rumit, sehingga menyulitkan terobosan kebijakan dan inovasi teknologi agar mampu diadopsi oleh para nelayan, terutama yang berskala kecil menengah.

Benar bahwa pemerintah telah mencanangkan Program Wira Usaha Bahari, yang memperoleh dukungan komitmen dana Rp1,3 triliun dari PT Bank BNI, yang menyediakan pinjaman permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Nelayan menengah dan kecil berharap bahwa bunga pinjaman dapat ditekan jauh di bawah bunga pasar, sekaligus untuk menjawab keraguan efektivitas KUR pada pengembangan ekonomi rakyat pada lapisan yang paling bawah. Pada tingkat skala usaha yang lebih luas, kebutuhan modal kerja untuk penambahan jumlah unit usaha dan perluasan areal budidaya perikanan paling tidak membutuhkan modal kerja Rp12 triliun dan modal investasi Rp 15 triliun. Tantangan inilah yang harus segera dijawab oleh pemerintah dan sektor perbankan, terutama melalui skema pembiayaan komersial. Sampai saat ini tidak banyak perbankan komersial yang memiliki perspektif positif dan prospektif terhadap sektor perikanan, baik karena kualitas informasi yang tidak lengkap, pemahaman yang tidak memadai, maupun karena pelaku sektor perikanan itu sendiri yang kurang aktif mempengaruhi perbankan.

Terakhir, kebijakan pengembangan perikanan tangkap juga perlu disertai upaya sungguh-sungguh agar visi ekonomi berbasis benua kontinen dapat menjadi kenyataan. Misalnya, gagasan untuk meningkatkan skala usaha tangkap dengan cara memberikan bantuan permodalan agar kapal nelayan dan sarana tangkap paling tidak mencapai 10 gross ton ke atas agar kapasitas tangkap meningkat secara signifikan. Agak sulit untuk berharap banyak jika lebih dari 70 persen armada penangkapan ikan hanya berkapasitas di bawah 5 gross ton, dan 18,4 persen berkapasitas 5-10 gross ton. Dalam jangka pendek, peningkatan skala usaha dan armada tangkap ini akan membuat nelayan Indonesia mampu melaut lebih jauh, sampai ke Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan bahkan perairan internasional. Dengan kemampuan melaut yang lebih baik, secara tidak langsung, langkah ini dapat menjadi strategi yang lebih ofensif untuk menjaga perairan Indonesia dari pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal asing. Pola pelibatan masyarakat nelayan seperti inilah yang kemungkinan besar dapat membantu Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut (TNI-AL) menjaga kedaulatan negara.

Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF, Jakarta
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar