Selasa, 05 Oktober 2010

Panglima, Strategi dan Peran Baru Bagi TNI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 28/9 silam telah melantik  Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggantikan Jenderal Djoko Santoso. Pergantian pucuk pimpinan TNI kali ini menjadi momentum  yang sangat tepat untuk merumuskan kembali strategi pertahanan negara serta fungsi dan peran TNI. Setidaknya ada dua peristiwa yang bisa dijadikan sebagai titik tolak perlunya mendesain ulang strategi pertahanan dan peran TNI.

Pertama, (lagi-lagi) Indonesia dihadapkan pada situasi bersinggungan dengan negara tetangga serumpun, Malaysia, dalam hal tumpang tindih klaim tapal batas. Peristiwa tersebut hendaknya semakin menyadarkan kita semua bahwa sebagai archipelago state (setidaknya berdasar fakta geografis), masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita rampungkan.

Dalam tataran diplomasi, perlu kerja keras dari Kemenlu dan jajarannya untuk meyakinkan bangsa-bangsa lain yang berbatasan langsung dengan Indonesia, agar mengakui batas-batas wilayah kedaulatan Indonesia.

Di sisi pertahanan negara, sangat urgen bagi Indonesia untuk melipatgandakan kekuatan pertahanan yang mampu memberi efek penangkalan dan penggentaran pada pihak asing, sebab ternyata kita acapkali kedodoran dalam hal penjagaan kedaulatan wilayah kita sendiri. Untuk menjawab tantangan demi tantangan yang selalu datang tersebut, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat angkatan bersenjata kita.

Maritime Defence
Dampak positif dengan terpilihnya Laksamana Agus Suhartono sebagai panglima TNI, setidaknya bisa memperkuat arah perubahan haluan strategi pertahanan nasional, dari pertahanan yang bertumpu di daratan (Continental Defence), berubah dengan menjadikan  lautan sebagai benteng pertahanan utama (Maritime Defence).


Ini sangat logis karena secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dengan konsekuensi memiliki konfigurasi kewilayahan yang sangat terbuka, sehingga segala bentuk ancaman yang dapat merongrong kedaulatan negara datangnya bisa dari segala penjuru.

Penjabaran sederhana dari strategi Maritime defence adalah andaikata  terjadi suatu agresi militer oleh asing terhadap salah satu pulau (dari ribuan pulau yang dimiliki Indonesia), maka bala bantuan secara massif dari wilayah lainnya hanya dimungkinkan melalui jalur laut, ini mengingat bahwa kekuatan TNI tidak mungkin terkonsentrasi secara merata di semua pulau.  Itu artinya bila terjadi peperangan di Nusantara ini, maka lautan antar pulau harus terkuasai lebih dulu oleh kekuatan TNI. Tanpa penguasaan laut, sangatlah  mudah bagi pihak agresor untuk menduduki satu persatu pulau di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan lebih banyak lagi kapal perang bagi TNI AL, baik yang bersifat combatant, seperti : Submarine, destroyer escort, fregat, korvet hingga kapal cepat rudal; maupun kapal pendukung lain noncombatant dari jenis: Landing Ship Tank, Landing Platform Dock, penyapu ranjau, kapal logistik hingga tanker. Memiliki angkatan laut yang kuat selain untuk strategi pertahanan negara kepulauan, juga untuk penegakan hukum di laut, semisal : untuk memberantas perompakan, illegal fishing, human trafficking, penyelundupan senjata, peredaran narkoba dan lain-lain.

Kontra Terorisme
Peristiwa kedua yang bisa dijadikan sebagai trigger untuk mendesain ulang fungsi dan peran TNI adalah meningkatnya ekskalasi gangguan keamanan berupa rangkaian aksi tindak terorisme.   Walaupun berbagai produk UU yang ada - UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI -  dengan jelas mengatur pembagian peran, fungsi, tugas dan wewenang institusi Kepolisian dan TNI secara terpisah, namun perkembangan terakhir menyiratkan bahwa untuk menghadapi gangguan keamanan berupa aksi terorisme, negara tidak bisa lagi membiarkan Polri sendirian dalam menghadapi terorisme.

Sampai beberapa waktu lalu ketika aksi terorisme dilakukan dengan metode peledakan bom, maka  terlihat sekali bahwa pihak kepolisian sangat piawai dan memiliki kompetensi yang tinggi dalam hal penyidikan dan penyelidikan, terbukti pihak Polri dengan gemilang mampu mengungkap pelaku dan meringkus jaringannya. Namun, dalam perkembangannya ketika para pelaku tindak terorisme merubah pola serangan menjadi aksi bersenjata - baik  secara frontal maupun gerilya seyogianya pihak kepolisian tidak berdiri sendiri, namun harus dibantu oleh satuan-satuan yang ada di TNI.
Harus diakui bahwa dalam menghadapi kelompok bersenjata, TNI lebih berpengalaman. Pernyataan ini setidaknya didasarkan  pada dua argumen: Pertama, TNI merupakan alat negara dengan kekhususan tugas untuk berperang. Kedua, TNI mempunyai pengalaman sejarah yang panjang dalam menghadapi perlawanan bersenjata baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Pengalaman sejarah TNI tersebut  telah ditorehkan ketika menghadapi agresi militer Belanda I dan II, penumpasan separatisme PRRI/Permesta, DI-TII, RMS, operasi pembebasan Irian (Trikora), aksi ganyang Malaysia (Dwikora), Operasi Seroja, DOM di Aceh dan masih banyak lagi. Bahkan di era Orde Baru, ketika TNI masih bernama ABRI, dimana tugas kontra terorisme sepenuhnya ada di pundak kesatuan Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, telah mampu menunjukkan  prestasi gemilang. Sehingga saat itu Kopassus dimasukkan dalam jajaran pasukan elite terbaik di dunia, sejajar dengan SAS (Inggris) dan Green Berets (Amerika).  Untuk itu sangatlah tepat kiranya dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang memungkinkan kekuatan TNI bersinergi dengan Polri dalam menghadapi aksi terorisme.
Dengan demikian pada usianya yang ke-65 kali ini, TNI memiliki strategi dan peran baru dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Danang Probotanoyo, SSi.Pemerhati Militer, Alumnus UGM.

Kedaulatan Rakyat

2 komentar:

Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar