RMOL. Terbentang sepanjang 805 kilometer antara sisi barat Semenanjung Malaysia dan pantai timur Pulau Sumatera di Indonesia, Selat Malaka telah digunakan sebagai salah satu jalur perdagangan internasional sejak berabad-abad sebelum Masehi. Adalah pedagang-pedagang Afrika, Arab, India yang dipercaya pertama kali menggunakan jalur ini sebagai alternatif Jalan Sutera menuju negeri China, dan sebaliknya.
Bersamaan dengan berakhirnya Abad Kegelapan di dunia Barat, perdagangan rempah-rempah di Eropa pun meningkat tajam. Pelaut dan pedagang Eropa yang awalnya percaya bahwa bumi itu datar pun mulai memberanikan diri mengangkat sauh dan berlayar hingga ke kawasan yang sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara, termasuk ke kepulauan besar yang kini bernama Indonesia. Perjalanan ke timur ini telah membawa pelaut-pelaut Eropa ke sumber rempah-rempah yang sangat dibutuhkan masyarakat Barat.
Hari ini, diperkirakan dalam satu tahun sekitar 70 ribu sampai 100 ribu kapal laut yang mengangkut berbagai macam komoditas melintasi Selat Malaka, dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik, atau sebaliknya. Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Bernard Ken Sondakh suatu kali, tak kurang dari 72 persen perdagangan dunia menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan.
Catatan lain mengatakan, di tahun 2007, sekitar 80 persen kebutuhan energi Jepang dan RRC dikirim lewat Selatan Malaka. Hal-hal ini memperlihatkan betapa sibuknya lalu lintas perdagangan di selat itu.
Tetapi bukan berarti Selat Malaka tak menyimpan masalah. Persoalan besar yang dihadapi selat ini sejak lama adalah aksi pembajakan. Di tahun 1994, menurut sebuah catatan, setidaknya terjadi 25 serangan bajak laut. Jumlah ini melonjak tajam hingga mencapai 202 pada tahun 2000, dan sedikit menurun di tahun 2004 dimana hanya terjadi 150 kasus serangan. Di bulan Juli 2004, patroli dari tiga negara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, meningkatkan penjagaan Selat Malaka.
Di tahun-tahun berikutnya, menurut Journal of Commerce Online edisi Januari 2007, jumlah kasus pembajakan kapal Selat Malaka turun hingga hingga 79 kasus di tahun 2005 dan “hanya” 50 kasus di tahun 2006.
Selain bajak laut, penyelundupan obat-obatan terlarang dan senjata juga menjadi salah persoalan krusial yang dihadapi Selat Malaka.
Pertengahan Oktober lalu, di sela pertemuan Head of Asian Coast Guard Agencies Meeting (HACGAM) ke-6 di Shanghai, Indonesia menjalin perjanjian bilateral dengan sejumlah negara yang “dihidupi” Selat Malaka untuk memerangi tindakan melawan hukum (unlawful act) di selat itu.
Dalam perjanjian bilateral dengan RRC, misalnya, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) RI, Laksdya Didik Heru Purnomo, mengatakan bahwa kedua negara selama ini menjalin kerjasama maritim yang baik dalam kerangka Technical Committee Meeting (TCM) berdasarkan MOU Kerjasama Maritim dan Deklarasi Strategic Partnership yang ditandatangani tahun 2005 oleh presiden kedua negara.
”Di masa mendatang, kerjasama ini perlu ditingkatkan melalui penguatan dialog dan konsultasi yang berpijak pada aturan hukum internasional khususnya terkait dengan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 serta prakek-praktek terbaik yang saling menghormati yurisdiksi masing-masing negara,” ujar Laksdya Didik Heru Purnomo.
Senada dengan Laksdya Didik, Executive Deputy Director Maritime Safety Administration (MSA), Capt. Chen Aiping, yang mewakili pemerintah RRC mengatakan bahwa kerjama sama TCM perlu ditingkatkan terutama untuk mengatasi unlawful act di Selat Malaka dan Selat Singapura. Cina mencontohkan kasus perompakan di perairan Somalia, Afrika, yang semakin mengkhawatirkan sebagai referensi betapa perlu meningkatkan kerjasama keamanan di Selat Malaka.
Sementara dalam pembicaraan bilateral Indonesia-Malaysia, Admiral Maritime Datuk Mohd. Amdan bin Kurish, Direktur Jenderal Malaysian Maritime Enforcement Agency (MMEA), mengatakan, banyak masalah antara kedua negara di sekitar Selat Malaka yang dapat diselesaikan secara cepat dan baik.
Oleh karena itu Malaysia sepakat untuk membentuk Point of Contact (POC) antara Malaysia dan Indonesia di wilayah-wilayah tertentut terutama di wilayah Laut Cina Selatan (Perairan Natuna). Penunjukan Natuna sebagai POC dilatarbelakangi oleh sulitnya MMEA yang bermarkas di Johor mengadakan hubungan dengan Indonesia di wilayah tersebut.
Filipina dan Jepang dalam pertemuan bilateralnya dengan Indonesia menyampaikan penghargaan terhadap langkah yang diambil Indonesia untuk membentuk Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Jepang memahami langkah Indonesia itu dilakukan dalam upaya meningkatkan keselamatan pelayaran dan menjaga keamanan maritim di Selat Malaka dan Singapura.
Sementara itu, meskipun batas-batas wilayah negara masih belum ditentukan, Filipina menekankan perlunya kerjasama dalam menjaga perairan masing-masing dari tindakan melawan hukum di daerah yang menjadi perhatian bersama. Terkait dengan hal tersebut Laksdya Didik Heru Purnomo mengatakan bahwa Indonesia telah membuka kantor regional Bakorkamla di Bitung, Menado dan telah aktif berfungsi mengawasi wilayah-wilayah laut sekitarnya.
Sejauh ini aksi pembajakan paling spektakuler tercatat terjadi pada 14 November 2008 lalu. Bajak laut Somalia, mengambil alih Sirius Star, kapal tanker raksasa berbobot mati 318.000 ton milik perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco. Ketika dibajak, Sirius Star tengah membawa 2 juta barrel minyak mentah senilai 100 juta dolar AS.
Cukup mengejutkan karena perompak tidak melakukan aksi di halaman rumah mereka sendiri, di Teluk Aden.
Sirius Star sedang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat melalui Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Ia tidak melalui Teluk Aden, melainkan melintasi Terusan Suez. Setelah dikuasai, tanker raksasa yang besarnya sekitar tiga kali kapal induk ini kemudian digiring ke tempat persembunyian perompak di Eyl, sebelah utara Somalia. Kepada Aramco, perompak Somalia meminta uang tebusan sebesar 25 juta dollar AS. Aksi nekat perompak-perompak Somalia ini dikhawatirkan dapat menular dan menyebar ke jalur perdagangan laut internasional lainnya, termasuk Selat Malaka. Pembentukan ISCG juga kerjasama bilateral dan regional yang lebih serius antara negara-negara di sekitar Selat Malaka, seperti yang dilakukan dalam forum HACGAM, diharapkan dapat mencegah perompak model Somalia ini singgah di Selat Malaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar