Jumat, 02 Maret 2012

RI Fasilitasi Kerja Sama Maritim Antarnegara

JAKARTA (Suara Karya): Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Kalakhar Bakorkamla), Laksdya TNI Didik Heru Purnomo menyadari bahwa keamanan maritim nasional maupun internasional tak efektif hanya mengandalkan kekuatan satu negara.


Karena itu, perlu ada sinergitas terkoordinasi antarnegara agar wilayah laut bersih dari pelanggaran hukum dan tindakan criminal. "Perlu ada sinergitas terkoordinasi nasional maupun internasional," ujar Didik dalam sambutannya yang dibacakan Kepala Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut Bakorkamla, Brigjen Pol A J Benny Mokalu pada pembukaan Maritime Security Desktop Exercise and Law of The Sea Coures di Jakarta, Selasa (28/2).

Indonesia melalui Bakorkamla dan Australian Custom Border Protection Service (ACBPS) dan Border Protection Command (BPC) Australia menjadi mediator, sekaligus fasilitator kerja sama maritim antarnegara. Sebanyak 115 peserta dari 22 negara ikut dalam pelatihan ke-3 desktop keamanan maritim dan kursus hukum laut itu. Ke-22 negara itu antara lain, Australia, Bangladesh, Brunei, China, Filipina, Hongkong, Indonesia, Kamboja, Korsel, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Singapura, Srilangka, Thailand, dan Vietnam (anggota Heads of Asian Coast Guard Agencies (HACGA). Sementara, negara yang bukan anggota HACGA, yakni Maladewa, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Pengamat maritim dari Indonesia, Hasyim Djalal ikut memberikan pembekalan pada pelatihan itu. Didik mengatakan, Bakorkamla terus membangun kapasitas kelembagaan dengan instansi terkait dan membangun kerja sama dengan lembaga di berbagai negara. "Langkah ini merupakan upaya meningkatkan sinergitas dan kerja sama dalam menjalankan tugas baik nasional maupun internasional. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan khususnya di bidang keamanan laut yang mencakup lima misi utama," ujar dia. Lima misi itu, lanjut dia, penegakan hukum di laut, keselamatan dan keamanan pelayaran, pengamanan sumber daya alam hayati dan non hayati, pencarian dan penyelamatan di laut (SAR) dan tugas perbantuan di bidang pertahanan.

Dengan partisipasi dari para delegasi negara yang mengikuti pelatihan itu, jelas Didik, setiap negara memahami akan pentingnya forum kerja sama seperti ini untuk mengatasi persoalan kompleks keamanan maritim, seperti pelanggaran hukum yang terjadi di laut, jaminan keamanan di laut dan lainnya. "Dengan adanya acara ini diharapkan tercapai suatu koordinasi yang baik untuk pertukaran informasi serta pola baru aspek operasional yang lebih aplikatif untuk diterapkan setiap peserta delegasi di negaranya masing-masing," ujar Didik.

Potensi Masalah Hasyim Djalal menjelaskan, wilayah laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi atau dua pertiga dari total luas wilayah NKRI. Namun penjagaan wilayah laut Indonesia relatif belum maksimal sehingga berpotensi banyak menimbulkan masalah di lautan. "Kasus illegal fishing, human trafficking, kelompok bajak laut, penyelundupan orangutan, dan berbagai kriminal laut lainnya bermunculan di wilayah lautan Indonesia," ujarnya.

Menurut Hasyim, kasus pembajakan di Somalia dan perampokan bersenjata (armed robbery) yang terjadi di Selat Malaka menjadi catatan penting bagi negara Indonesia. Karena itu, pihaknya mengimbau agar aparat melakukan tindakan preventif di kawasan regional. "Di wilayah laut Kalimantan, Mindanau, Aceh maupun daerah perbatasan lain banyak ditemukan pelanggaran maritim akibat tidak ada penjagaan," kata Hasyim.

Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda dapat menggunakan acount FB anda untuk posting komentar